Kamis, 10 Juni 2010

Menanti negara sudan selatan

Dua bulan kemarin, Palestina menjadi target invasi pasukan Israel. Afganistan jadi target berikutnya. Sekarang Sudan menjadi objek utama. Senarai rangkaian permusuhan ini seharusnya semakin mendewasakan umat ini, menyadarkan adanya perang tak berkesudahan, serta kebencian yang mendalam terhadap Umat Islam.

Antara Sudan Utara dan Selatan

Bukan tanpa tujuan putusan International Criminal Court (ICC) terhadap Presiden Sudan. Putusan itu menyatakan Al-Basyir sebagai pelaku tindak pelanggaran terhadap HAM dan pembantaian manusia secara tidak langsung di Darfur. Putusan yang dikeluarkan pada Rabu, 4 Maret 2009 ini sebelumnya pernah mencuat pada Senin, 14 Juli 2008. Dr. Abdul Aziz Kamil dalam sebuah kajiannya di Majalah Al-Bayan (edisi Muharram 1426) menyatakan, bahwa Inggris adalah negara pertama yang mengambil peran dalam penyebaran benih konflik di Sudan Selatan. Sejak Inggris menguasai negeri penguasa sungai Nil kedua setelah Mesir ini pada akhir abad ke-19, mereka telah menutup jalan masuk dakwah Islam ke Sudan Selatan. Di saat yang sama, mereka melebarkan sayap kristenisasi dengan membiarkan masuk para misionaris untuk menyebarkan paham dan pengaruh Kristen. Setelah Sudan merdeka, usaha kristenisasi ini tetap berlangsung dengan makmur.

Keadaan ini tetap berlangsung hingga kini. Malah terlihat ada indikasi yang memperlihatkan dukungan pemerintah Sudan terhadap proses kristenisasi. Hal ini antara lain terlihat dengan dihapusnya undang-undang tentang batas penyebaran agama Kristen yang pernah ditetapkan pada masa pemerintahan Ibrahim Abud (tahun 1957—1963). Undang-undang ini melarang adanya pembangunan gereja baru di wilayah Sudan Selatan tanpa izin dari pemerintah. Kebijakan ini untuk menghindari terjadinya konflik antar agama dan pembangunan tempat peribadatan Kristen di wilayah umat Islam. Namun kemudian ketentuan ini dihapus atas permintaan Paus Paulus II yang berkunjung ke Sudan tahun 1994. Sehingga terbukalah peluang emas bagi pihak gereja untuk menyebarkan agama Kristen di Sudan dengan seluas-luasnya, dan tetap berpusat di Sudan Selatan.

Perang ideologi antara penduduk Sudan Selatan yang mayoritas Kristen dan Sudan Utara yang sebagian besar Muslim mulai tersulut sejak saat itu. Disamping itu, perbedaan ras juga memicu panasnya konflik; penduduk Sudan Selatan didominasi oleh orang-orang Negro, sedangkan Sudan Utara banyak dihuni oleh keturunan Arab. Kesempatan ini dimanfaatkan Zionis Yahudi untuk mempertajam konflik dengan mengubah "topik konflik" dari agama dan ras menjadi konflik politik dan militer.

Motif terselubung permainan strategi ini melihat besarnya potensi Sudan untuk kepentingan Yahudi dalam mewujudkan angan mereka, mendirikan negara Israel Raya. Sebagaimana apa yang dikatakan Golda Meir, Perdana Menteri Israel ke-4 (1969-1974) bahwa, “Melemahkan negara-negara Arab sentral dan menggerogoti kekuatannya adalah keharusan, demi melipatgandakan kekuatan kita dan meningkatkan daya tahan kekebalan kita menghadapi musuh. Untuk itu kita harus menggunakan segala cara, kadang kala menggunakan kekerasan, diplomasi, atau dengan cara perang terselubung.”

Sudan Selatan dan Israel

Hubungan baik antara kelompok pemberontak di Sudan Selatan—yang ingin memisahkan diri dari Sudan—dengan Israel, telah terbina lama sebelum John Garank, pimpinan kaum pemberontak muncul ke pentas politik Sudan. Upaya penguasaan Sudan telah dirintis Zionis Israel sejak tahun 50-an. Mereka membina hubungan dengan penduduk Sudan Selatan dengan cara memberikan bantuan kemanusiaan dalam jumlah besar kepada penduduk di Sudan Selatan dan sebagian di Sudan Utara. Pada tahun 60-an, Israel mulai melancarkan provokasi kepada penduduk untuk melakukan pemberontakan. Tidak hanya itu, mereka juga mempersenjatai penduduk Sudan Selatan dengan berbagai persenjataan militer dan mendirikan akademi militer untuk para pemuda Sudan di Ethiopia, Uganda, dan Kenya. Bahkan tentara dan perwira Israel mendirikan karantina khusus untuk melatih pemuda-pemuda Sudan, dengan mengambil tempat di dalam negeri Sudan.

Pada pertengahan tahun 70-an, Zionis Israel menambah pasokan senjata untuk tentara Sudan yang kemudian mereka gunakan untuk membantai kaum Muslimin di sana. Mendekati paruh tahun 80-an, terbentuklah pasukan tentara Sudan keluaran akademi militer Israel. Sepanjang tahun 80-an ini, negara-negara tetangga, seperti Kenya dan Uganda, turut memberikan andil politik dalam mengokohkan kepemimpinan John Garank di Sudan Selatan. Tahun 90-an, tentara Israel kembali menambah perangkat senjata militer modern untuk kepentingan perang. Genderang perang pun semakin kencang terdengar sejak saat itu. Suaranya membahana ke seluruh penjuru dunia. Amru Musa, sekjend Liga Arab pasca agresi AS ke Irak menegaskan, bahwa kondisi Irak pasca Saddam tidak lebih parah daripada kondisi yang akan dihadapi Sudan mendatang. Dan benar, tak lama setelah itu meletuslah tragedi Darfur di Sudan Barat.

Pengkotak-kotakan negara Arab oleh Zionis Israel merambah jauh ke dalam negeri Sudan. Pemberontakan demi pemberontakan yang terjadi hanya sebagai langkah awal untuk menjadikan Sudan terpecah-belah, dan pada gilirannya tentu berpengaruh kepada kondisi negara-negara Arab di Timur Tengah. Perjanjian damai yang terjadi kemudian tidak menjadi indikasi bahwa negara Sudan akan kembali bersatu. Justru dari sinilah perpecahan itu dimulai.

Negara Sudan Selatan

Perjanjian yang diadakan pada hari Ahad, 28 Dzulqa'dah 1425/9 Januari 2005, antara pemerintah Sudan dengan Sudan People’s Liberation Army (SPLA) yang dipimpin oleh Dr. John Garank, telah menyepakati adanya referendum gencatan senjata antar kedua belah pihak, memberikan kesempatan otonomi daerah kepada pihak Sudan Selatan untuk menjalankan pemerintahan sendiri selama enam tahun (2005-2011). John Garank sendiri diangkat menjadi wakil presiden pertama Sudan dan memegang kepemimpinan tertinggi di Sudan Selatan yang mencakup seperempat wilayah negeri.

Jangka waktu enam tahun ini bisa menjadi kesempatan emas bagi kaum pemberontak untuk melebarkan sayapnya. Dalam rentang waktu ini mereka bebas mengeruk kekayaan alam dan gas bumi yang berada di Sudan Selatan tanpa ada campur tangan dari pemerintah. Enam tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk mempersiapkan segala sesuatu di bidang militer, ekonomi, sosial, politik internasional, dan bidang lainnya. Mereka pun dapat menghantam dan menyudutkan pemerintah Sudan di mata dunia dengan menyebarkan berbagai opini dan isu atas bantuan AS dan Israel. Sehingga ketika masa enam tahun terlewati, Dr. Abdul Aziz memprediksikan kelompok pemberontak di Sudan Selatan tidak akan memberikan wilayah Sudan Selatan kepada pemerintah, namun justru akan balik menyerang dengan segala kekuatan milter yang dimilikinya bersama sekutunya.

Berdirinya sebuah negara yang berasaskan Islam merupakan ancaman besar. Sosok Presiden Al-Basyir membuat AS takut. Apalagi dengan adanya keinginan untuk menerapkan Syariat Islam di sana. Mereka ingin merebut Sudan dan menggusur Al-Basyir yang punya komitmen keislaman kuat, hapal Al-Quran, mendapat dukungan besar dari rakyat, dan diterima di kalangan ulama baik di Sudan maupun di luar Sudan. Ia juga menjadi penghalang dalam mewujudkan keinginan AS untuk memecah Sudan menjadi negara-negara kecil. Maka rongrongan dari dalam terus dijalankan. Konflik dalam negeri terus ditabuh, demi terwujudnya kepentingan berdirinya negara baru di Sudan Selatan dalam tiga tahun terakhir ini. Al-Basyir harus kuat dan perlu dukungan dari seluruh umat islam. Jika tidak, negara baru Selatan Sudan itu akan terwujud. Wallahul Musta’an.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

saya ingin memberitahukan bahwa agen taruhan bola online dengan berupa game yang sangat banyak, Hanya ada di Bolavita untuk kontak nya di BBM: BOLAVITA/ WA: +6281377055002

Posting Komentar